SEJARAH DESA SUCEN
Dalam perjalanannya, sebelum bernama Desa Sucen wilayah desa ini konon telah beberapa kali berganti nama. Terhitung sekitar dua kali pergantian nama sebelum akhirnya bernama Desa Sucen sampai dengan saat ini.
Dahulu kala, wilayah Desa Sucen merupakan sebuah hutan yang berada di sekitar wilayah Gili Borejeng. Di sebelah hutan tersebut terdapat sungai yang cukup besar. Berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat, Desa Sucen sudah ada sejak zaman Mataram Kuno/Kerajaan Medang yang masuk dalam Legenda Angling Dharma masa pemerintahan Rakai Garung (sekitar tahun 828 s.d 847). Rakai Garung terkenal dengan keahliannya tentang ilmu falak dan perbintangan, sehingga pada waktu itu sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam ilmu perbintangan atau ramalan untuk menentukan sesuatu tujuan yang diinginkan.
Ditemukannya Prasasti Sucen I pada tahun 1.743 M menandakan bahwa pada saat itu ilmu tentang falakiyah dan perbintangan sudah dikenal dan diminati. Prasasti SucenI berisikan tentang penetapan wilayah sima (wilayah bebas pajak) dalam kerajaan Mataram Kuno yang mana prasasti ini ditulis pada saat terjadinya gerhana bulan. Prasasti ini berbentuk payung kecil berlapis emas. (sumber : spkt.kemdikbud.go.id).
Prasasti Sucen I merupakan benda cagar budaya dengan nama “Songsong Tunggul Nogo Kencono” milik Raden Tejo Kusumo putra Raden Suryo Kusumo dari Mangkunegara Surakarta. Raden Suryo Kusumo merupakan seorang bangsawan Mangkunegaran Kartasura. KGPAA Mangkunegara selalu menentang pejajahan VOC, setelah beliau wafat, perjuangannya diteruskan oleh Raden Suryo Kusumo dan putranya yang bernama Raden Tejokusumo. Konon sewaktu beliau mengadakan sidang dengan para laskarnya di wilayah yang saat ini dikenal dengan nama Desa Sucen, tepatnya di Gili Seroto (sebelah utara Desa Sucen), pusaka beliau jatuh tertinggal. Pusaka tersebut kemudian ditemukan oleh warga Desa Sucen beberapa tahun kemudian dan saat ini berada di Museum Nasional Jakarta.
Berdasarkan cerita turun temurun, dikatakan bahwa orang pertama yang telah melakukan babat hutan di lereng pegunungan Gili Borejeng yang saat ini merupakan wilayah Desa Sucen bernama Ki Buyut Suci. Wilayah tersebut dinamai “Gili Borejeng” dikarenakan di tempat itu terdapat seekor kerbau yang mempunyai corak kulit belang atau dalam bahasa jawa disebut rejeng. Setelah Ki Buyut Suci berhasil membuka wilayah tersebut beliau kemudian menetap selama beberapa tahun di wilayah itu dan mengganti nama wilayah itu dengan nama “Kampung Sebibis”. Selang beberapa tahun kemudian beliau berkeinginan untuk melakukan pengembaraan dan meninggalkan anak-anaknya. Pengembaraan Ki Buyut Suci hanya sampai di Desa Losari Sumowono dan beliau meninggal dan dimakamkan disana. (sumber : keterangan Simbah Murtopo, Alm Nujum Kerajaan Mataram yang ditugaskan di Wilayah Sumowono).
Beberapa tahun kemudian yaitu sekitar tahun 1.584 M, Kampung Sebibis kedatangan seorang Demang dari Kerajaan Mataram. Saat itu Kerajaan Mataram tengah dipimpin oleh Panembahan Senopati yang ingin memperluas wilayah kerajaannya sampai ke sebelah barat yaitu sekitar wilayah Kedu. Beliau mengutus para punggawa kerajaan diantaranya Raden Purbaya, Tumenggung Kromoyudho, Singoranu dan beberapa Demang. Dan salah satu Demang yang melanjutkan perjalanannya sampai ke daerah Kampung Sebibis yaitu Demang Kluwung.
Di Kampung Sebibis Demang Kluwung bertemu dengan seorang gadis yang cantik. Beliau jatuh cinta kepadanya dan bermaksud memperistrinya. Kemudian setelah beliau menikah, dari hasil pernikahannya dengan gadis desa itu Demang Kluwung dikarunia seorang putra yang diberi nama Raden Surodongso. Raden Surodongsolah yang dikemudian hari menjadi pemimpin pertama di Kampung Sebibis. Setelah Raden Surodongso dirasa pantas dan siap untuk memimpin wilayah tersebut, Demang Kluwung berkeinginan untuk melanjutkan perjalanannya kembali ke kerajaan Mataram. Perjalanan beliau konon melewati bagian sebelah selatan Gunung Sumbing, namun sebelum sampai ke tujuannya yaitu ke Mataram tepatnya ketika sampai di wilayah Purworejo beliau memilih untuk tinggal di daerah tersebut sampai usia tua hingga meninggal dan dimakamkan disana.
Selang beberapa tahun kemudian, Kampung Sebibis kembali kedatangan seorang pengembara yang merupakan utusan dari kesultanan Cirebon. Beliau bernama Raden Udonorowongso (Alhuda Nurrohmat) yang juga merupakan kerabat dari Panembahan Senopati. Pada saat itu hubungan antara Kerajaan Mataram dan Kasultanan Cirebon terjalin cukup baik.
Raden Udonorowongso mendapatkan mandat untuk mensyiarkan ajaran agama islam di wilayah tersebut. Konon pada saat itu masyarakat Kampung Sebibis masih menganut keyakinan agama Hindu. Setibanya di Kampung Sebibis, Raden Udonorowongso langsung menemui Raden Surodongso yang merupakan Lurah di Kampung Sebibis. Beliau menyampaikan maksud dan tujuannya melakukan pengembaraan sampai ke daerah tersebut. Raden Surodongso menyambut baik maksud kedatangan Raden Kudonorowongso. Raden Surodongso juga menyampaikan keluh kesahnya terkait adanya wabah dan banyaknya warga Kampung Sebibis yang meninggal belakangan hari. Raden Udonorowongso kemudian menanyakan siapakah sebenarnya orang yang paling awal sebagai pendiri desa tersebut. Disampaikanlah oleh Raden Surodongso bahwa pendiri desa tersebut bernama Ki Buyut Suci dan keberadaan desa ini sudah ada sejak zaman Mataram Kuno.
Setelah mengetahui asal muasal desa, Raden Udonorowongso menyampaikan pendapatnya untuk mengganti nama Kampung Sebibis Menjadi Kampung Suci/Sucen. Raden Surodongso setuju dengan pendapat Raden Udonorowongso Alhuda nurrohmat tersebut dan kemudian digantilah nama Kampung Sebibis dengan nama “Sucen”.
Selain mengganti nama desa, Raden Udonorowongso juga mengajak masyarakat sekitar untuk merubah kepercayaan mereka dan ikut memeluk agama islam. Pada saat itu hampir seluruh warga desa masih beragama hindu. Setelah beberapa waktu beliau menetap di Desa Sucen, beliau merasakan kesulitan ketika mencari air yang ingin dipergunakan untuk berwudhu guna melaksanakan ibadah sholat. Beliau kemudian menyisir wilayah kampung di sebelah timur, beliau menemukan sebuah mata air yang sangat jernih. Kemudian Beliau mengajak masyarakat sekitar untuk memanfaatkan mata air tersebut dan memperbaikinya. Sampai saat ini mata air ini masih sangat dijaga dan dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Sucen. Dan sampai saat ini mata air ini dikenal dengan nama mata air suci. Disekitar kali tersebut, tumbuh pohon yang sangat besar yang kemungkinan tidak ada yang bisa menyamai ukurannya di sekitar wilayah Kecamatan Gemawang. Masyarakat Desa Sucen sampai saat ini masih menjaga dan melestarikan keberadaan kali tersebut, mata air Kali Suci masih dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari warga desa seperti mandi dan mencuci. Mitos yang masih dipercayai warga Desa Sucen sampai saat ini, Kali Suci tidak diperkenankan dipergunakan untuk mandi orang yang baru mengalami menstruasi. Apabila hal tersebut dilanggar konon aliran mata air tersebut akan berhenti dan orang yang melanggarnya akan mendapati celaka dikemudian harinya bahkan sampai dirasuki makhluk tak kasat mata. Salah seorang tokoh adat yang sering dimintai pertolongan oleh warga ketika ada yang kerasukan akibat ulah pelanggaran yang dilakukan adalah Eyang Sagi. Menurut Eyang Sagi, disamping kali tersebut buatan seorang wali, dimata air tersebut juga telah dihuni jin atau danyang perempuan yang sangat tua dan sangat sakti namun juga bijaksana. Sesekali jin perempuan tersebut sering menampakkan dirinya mandi di kali tersebut. Mitos lain yang masih dipercayai, kali tersebut sering digunakan untuk bertapa oleh orang-orang dari luar daerah. Juga menurut para ahli supranatural, air dari kali tersebut kandungan molekulnya sangat baik dan dapat digunakan untuk penyembuhan penyakit.
Untuk menjaga kelestarian kali tersebut, warga sekitar melaksanakan kegiatan bersih-bersih kali seminggu sekali dilaksanakan tiap hari jum’at, juga diadakan kegiatan nyadran kali tiap hari Jum’at Kliwon pada Bulan Rajab setiap satu tahun sekali.
Selang beberapa waktu Raden Udonorowongso juga menyisir sebelah barat desa untuk mencari mata air lagi. Beliau menemukan sebuah mata air yang sumbernya cukup besar namun memiliki rasa yang agak asin. Beliau kemudian menamai daerah tersebut dengan nama Kali Asinan.
Saat ini mata air kali asinan belum bisa dimanfaatkan dikarenakan warga mengalami kesulitan untuk mengambil aliran mata air tersebut. Mata air berada hampir di tengah aliran sungai yang cukup deras sehingga sulit untuk dimanfaatkan. Masyarakat hanya dapat memanfaatkan mata air tersebut ketika musim kemarau. Saat ini wilayah tersebut dikenal menjadi wilayah Dusun Ngasinan.
Selanjutnya Raden Udonorowongso melanjutkan perjalanan pengembaraannya. Beliau berkeinginan mendirikan sebuah tempat ibadah di wilayah desa ini. Kemudian beliau membuka lahan atau yang dalam istilah jawa dikenal dengan istilah “mbatur” di wilayah sebelah utara Kampung Sucen. Lewat kesaktian beliau, beliau melakukan proses pembaturan hanya dalam waktu satu malam. Namun belum sampai selesai proses pembangunan tempat ibadah tersebut, hari sudah beranjak pagi. Terdengar kokok ayam bersahut-sahutan, sehingga menggagalkan usaha pembuatan tempat ibadah itu dan kegiatan pembangunan tempat ibadah itupun tidak diselesaikan.
Lokasi tersebut saat ini dijadikan wilayah perkebunan warga Desa Sucen dan dikenal dengan nama Alas Batursari. Konon daerah tersebut menjadi daerah yang sangat angker dan mempunyai kekuatan mistis, contohnya apabila ada warga masyarakat yang berani buang air kecil di tempat tersebut akan mengalami bengkak dibagian aggota tubuhnya.
Raden Udonorowongso kembali melanjutkan perjalanan pengembaraannya. Ia menuju kearah barat Desa Sucen. Cuaca saat itu berketepatan sedang turun hujan.. Selang beberapa saat setelah hujan reda, tibalah saatnya waktu sholat dhuhur (dalam bahasa Jawa “Mandang terang pas mongso sholat”). Beliau kemudian mencari batu sejumlah enam buah untuk dijadikan sebagai alas untuk menunaikan sholat. Batu-batu itu kemudian ditata rapi sehingga dapat dijadikan alas untuk sholat. Ba’da sholat, beliau kemudian duduk termenung sambil membayangkan sejauh perjalanan pengembaraan beliau sampai di tempat ini. Saat ini wilayah tersebut dijadikan sebagai punden/cagar budaya dan dinamai Punden Pesholatan. Sedangkan wilayah dusunnya diberi nama Dusun Mandang. Untuk menjaga menjaga kelestarian cagar budaya ini, saat ini wilayah pesholatan sudah dibangun sedemikian rupa dengan dikelilingi tembok dan diberi atap. Masyarakat sekitar masih mempercayai mitos bahwa ditempat tersebut dihuni banyak makhluk gaib dan makhluk gaib tersebut dapat dimintai pertolongan ketika ada permasalahan. Seiring berjalanya waktu, keberadaan pesholatan yang dulunya dianggap angker oleh warga masyarakat saat ini sedikit menghilang . Tempat tersebut dijadikan pusat kegiatan keagamaan dengan didirikannya Masjid dan juga TPQ. Disekitar punden pesholatan juga terdapat pusat pendidikan lainnya seperti PAUD, TK dan Sekolah Dasar. Untuk mengenang perjuangan Raden Udonorowongso dan juga untuk melestarikan keberadaan cagar budaya tersebut, warga Dusun Mandang masih melakukan kegiatan Nyadran Suro yang dilaksanakan setiap setahun sekali di hari Jum’at Kliwon Bulan Suro.
Kembali lagi Raden Udonorowongso melanjutkan perjalanan pengembaraan beliau. Kali ini beliau berjalan kearah selatan desa. Bermaksud melangsungkan ritual topo broto, beliau mencari sebuah batu yang akan dijadikan sebagai alas untuk bersimpuh (dalam bahasa jawa disebut “sedekung”). Pertapaan beliau berlangsung cukup lama, hingga batu yang dibuat untuk bersedekung membentuk cekungan layaknya bentuk kaki manusia yang sedang bersedekung. Saat ini wilayah itu dikenal sebagai alas Sedekong. Masyarakat desa yang mempunyai lahan pertanian di sekitar alas sedekong mempercayai bahwa Raden Kudonorowongso dapat membantu mendekatkan manusia kepada yang Maha Kuasa agar hasil kebun mereka dapat meningkat dan diberkahi. Sehingga tempat tersebut diabadikan sampai saat ini dan dibangun bangunan punden bahkan sebagian masyarakat masih mempercayai bahwa untuk menambah kesakatian seseorang dapat melakukan kegiatan bertapa ditempat tersebut seperti yang telah dilakukan oleh Raden Udonorowonso. Hal lain yang masih dilakukan oleh masyarakat yang memiliki wilayah kebun di daerah tersebut yatiu dengan melakukan Naydran yang diperingati tiap hari Jum’at Kliwon pada Bulan Rajab tiap setahun satu kali.
Setelah melakukan pertapaan, beliau kembali melanjutkan perjalanan pengembaraannya. Dan terakhir beliau singgah di daerah Kaliwungu, Kendal hingga wafat dan dimakamkan disana. Untuk mengingat perjuangan Raden Udonorowongso dalam mensyiarkan agama islam, banyak warga masyarakat yang sering berziarah ke makam beliau sampai saat ini. Warga dari Kaliwungu juga masih sering mendatangi petilasan Raden Udonorowongso yang ada di Dusun Mandang yang berupa Pesholatan tiap kali di Dusun Mandang diadakan kegiatan Nyadran Suro.
Kronologi Historis Pemerintahan di Desa Sucen :
Awal Pemerintahan Desa Sucen yaitu pada masa kepemimpinan Lurah Raden Surodongso (sekitar tahun 1.684 s.d 1.760). Setelah Raden Surodongso lanjut usia, kepemimpinan di desa dilimpahkan kepada menantunya yaitu Sriman Timbang dia adalah seorang putra Demang Surowidjojo yang berasal dari Desa Blimbing (sekitar tahun 1.761 s.d 1.800). Selanjutnya pada zaman terjadinya Perang Diponegoro Desa Sucen kedatangan Punggawa dari Kerajaan Mataram yang bernama Tumenggung Branjang Kawat. Dia bermaksud menyusun kekuatan perahanan di Daerah Kedu. Beliau pergi dari Mataram bersama tiga putranya yaitu Kinah, Sroko dan Sarijo. Bersama tiga orang anaknya beliau menetap di Desa Sucen. Selang beberapa tahun beliau berkeinginan untuk melanjutkan perjuangannya mengusir Belanda dari Bumi Pertiwi. Beliau pergi ke wilayah Wonosobo dengan meninggalkan ketiga putranya untuk bergabung dengan Raden Selomanik yang bertempat di pertahanan wilayah Wonosobo. Sesampainya di Wonosobo Tumenggung Baranjang Kawat disambut baik oleh Raden Selomanik. Dan selanjutnya mereka bermusyawarah untuk menyusun strategi pertahanan. Menurut riwayat, Raden Selomanik dan Tumenggung Branjang Kawat dikenal memiliki kesaktian yang luar biasa. Sehingga Belanda selalu mengalami kekalahan setiap akan melumpuhkan pertahanan Raden Selomanik yang berada di Wonosobo. Kesaktian Raden Selomanik dan Tumenggung Branjang Kawat terbukti dengan tidak dapat terbunuhnya kedua orang tersebut bahkan sampai usia tua. Beliau berdua menetap di daerah tersebut sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di Desa Kaliwiro Wonosobo.
Diantara ketiga Putra Branjang Kawat, salah satunya ada yang menjadi menantu Lurah Sriman Timbang yaitu Kinah. Sekitar tahun (1801 s.d 1830) Kinah dipercayai untuk memimpin Desa Sucen mengganti Lurah Sriman Timbang yang sudah lanjut usia. Pada saat masa pemerintahan Lurah Kinah, saat itu Indonesai dikuasai oleh Belanda dan pada waktu itu rakyat dikenakan beban pajak atas tanah yang sangat tinggi, sehingga Lura Kinah tidak bisa menutup kekurangan pajak dari masyarakat. Dengan permasalahan tersebut, kemudian Lurah Kinah mengundurkan diri dari jabatannya sebgai Lurah Sucen. Kepemimpinan dilimpahkan kepada keponakannya adik dari istrinya) yang cukup kaya bernama Gamiyah. Gamiyah dirasa mampu untuk menutup kekurangan pajak yang menjadi beban Lurah Kinah. Lurah Gamiyah menjalankan roda pemerintahan di Desa Sucen sekitar tahun 1830 s.d 1870. Setelah masa kepemimpinan Lurah Gamiyah berakhir, Beliau digantikan oleh Lurah Ranu Setiko atau Lurah Tekor (sekitar tahun 1.870 s.d 1.910). Pada waktu masa kepemimpinan Lurah tekor, Beliau tidak semata-mata mendapat limpahan jabatannya, namun melalui proses pemilihan secara langsung. Proses pemilihan pada saat itu menggunakan lidi yang ditaruh dalam bumbung bambu. Lurah Ranu Setiko atau Tekor menjadi Lurah pertama yang dipilih secara demokratis di Desa Sucen. Tongkat kepemimpinan periode selanjutnya diserahkan kepada Ranu Dimedjo atau lurah Godang yang merupakan cucu dari Lurah Tekor atau Ranu Sentiko (sekitar tahun 1910 s.d 1945) melalui penunjukan secara langsung dari kakeknya. Setelah masa kepemimpinan lurah Gudang berakhir Lurah Sucen digantikan oleh Tardjan. Beliau menjadi lurah sekitar kurang lebih dua tahun. Lurah Tardjan tidak sanggup meneruskan kepemimpinanya dikarenakan tuntutan dari masyarakat yang cukup tinggi. Kemudian masyarakat mengadakan pemilihan Lurah untuk periode selanjutnya. Ahirnya terpilih Redjan yang menjabat sebagai kepala Desa (1949-1978). Pada tahun 1978 s.d tahun 1982 terdapat kekosongan jabatan Lurah sehingga posisi Lurah diisi oleh Suparman yang pada masa itu menjabat sebagai carik. Pada tahun 1982 diadakan Pilkades, terpilihlah Suparman menjadi Kepala Desa dengan selisih suara yang sangat tipis yaitu dua suara. Suparman menjadi Kepala Desa sampai dengan tahun 1998. Pada saat itu Desa Sucen adalah salah satu desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Kandangan (Tahun 1983 s.d 2001). Pada tahun 2001, terjadi perubahan daerah kewilayahan di Kabupaten Temanggung. Sehingga sangat berpengaruh bagi Desa Sucen. Pada Tahun itu Desa Sucen ditetapkan ikut wilayah Kecamatan Baru yang merupakan wilayah pemekaran dari Kecamatan Kandangan dan Kecamatan Jumo, yaitu Kecamatan Gemawang.
Selanjutnya pada tahun 1999 diadakan Pilkades, dan yang mendapatkan suara terbanyak yaitu Bandiri. Bandiri menjadi Kepala Desa selama 6 tahun yaitu tahun 1999 s.d 2005. Selanjutnya pada tahun 2005 s.d 2007 terdapat kekosongan jabatan Kepala Desa. Baru kemudian diadakan Pemilihan kepala Desa pada tahun 2007, terpilihlah Tohari sebagai Kepala Desa. Sampai saat ini Tohari sudah menjabat sebagai Kepala Desa selama 3 periode pemilihan. Masa jabatannya akan berakhir pada tahun 2026..